oleh

Putusan Kasasi Terhadap Petani di Barut Ciderai Rasa Keadilan

PALANGKA RAYA, inikalteng.com
Putusan Kasasi oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya pada tanggal 8 September 2021 yang menolak permohonan kasasi Antonius, seorang petani asal Desa Kamawen, Kecamatan Montallat, Kabupaten Barito Utara (Barut), Provinsi Kalteng, dinilai bertentangan terhadap komitmen pemerintah yang selama ini digaungkan untuk menghormati, terutama memberikan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya.

Penilaian itu diungkapkan Novia Adventy Juran selaku Founder Forum Pemuda Kalteng dalam press release yang disampaikan kepada awak media di Palangka Raya, Rabu (22/9/2021).

“Seperti tertuang di pasal 18 B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, menyatakan bahwa negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Novia.

Baca Juga :  SMAN 3 Murung Menuju SMA Unggul

Karena itu, lanjutnya, Putusan Hakim yang menjatuhkan vonis satu tahun penjara serta denda Rp50 juta kepada seorang petani bernama Antonius, merupakan potret buram peradilan Indonesia sebagai negara hukum. Mengingat, sejak awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini telah menyepakati bentuk negara yaitu negara yang berdasarkan hukum (rechstaat).

Hal tersebut ditegaskan kembali dalam UUD 1945 Amandemen Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum yang berdasarkan Pancasila. Di mana hukum tidak dimaknai sebagai ilmu positivistik belaka, akan tetapi lebih pada ilmu tentang kemasyarakatan dan kemanusiaan.

Baca Juga :  Hadapi KLB, Dinkes Kalteng Gelar Pelatihan Manajemen Laboratorium Kesehatan

“Realitas kontekstual yang terjadi dalam peradilan Indonesia secara khusus dalam kasus peladang Dayak Antonius, menunjukkan kepada kita bahwa pemahaman holistik terhadap hukum dewasa ini sudah keluar dari jalur cita-cita pendirian bangsa. Kasus Antonius dan berbagai kasus kriminalisasi peladang Dayak lainnya, telah menciderai rasa keadilan dan menjadi potret buram penegakan hukum peradilan kita,” katanya.

Baca Juga :  Empat Sentra Produksi Pertanian Barut Alami Peningkatan Produktivitas

Menurut Novia, esensi hukum bukanlah suatu hal yang mati. Akan tetapi, selalu bergerak dinamis dan mengikuti perkembangan zaman serta melihat realitas kontekstual masyarakat. Kasus-kasus seperti Antonius, perjuangan Masyarakat Adat Laman Kinipan, adalah contoh kecil dari liarnya penegakan hukum berparadigma positivistik legalistik tanpa ada yang bisa mengendalikan bahkan pemikiran positivistik legalistik ini telah mengakar pada hakim sebagai aparat pemutus pada peradilan.

“Sehingga, perlu dilakukan upaya penegakan hukum progresif yang dibarengi dengan pembenahan sistem hukum pidana baik dalam segi substansi, struktur maupun budaya hukum,” imbuh Novia.(*/red)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA