oleh

643 Hektare Kebun Sawit PT SCC dan Koperasi Status Quo

Hasil RDP DPRD Kotim

SAMPIT, inikalteng.com – Keputusan DPRD Kotim   di penghujung jabatan membuat lahan seluas 643,8 hektare (ha) di areal PT Sinar Citra Cemerlang (SCC) menjadi lahan tak bertuan.

Hal ini setelah Komisi II DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) menggelar rapat dengar pendapat (RDP) terkait kemitraan lahan antara Koperasi Itah Epat Hapakat dengan PT SCC seluas 643,84 ha yang sampai sekarang belum terealisasi. Hingga pada akhir kesimpulan rapat tersebut menyatakan lahan yang jadi permasalahan itu berstatus quo (tidak boleh ada aktivitas) guna meredam masalah sementara waktu ini.

“Kesimpulan RDP hari ini yakni pertama pihak perusahaan harus melaksanakan dan menyelesaikan plasma dan kemitraan sesuai dengan kesepakatan tanggal 15 Desember 2021. Apabila ini tidak dilaksanakan maka lahan seluas 643,84 hektare itu dijadikan status quo dan tidak boleh ada aktivitas apapun baik perusahaan maupun pihak koperasi,” kata Agus Seruyantara, anggota Komisi II DPRD Kotim saat membacakan kesimpulan RDP,

Perwakilan Koperasi yakni Dewel mengaku tidak masalah lahan berstatus quo asalkan dipatuhi kedua belah pihak. Perwakilan koperasi akan menghormati kesimpulan DPRD untuk mencegah konflik di lapangan.

Baca Juga :  Audit Kasus Stunting, Upaya Tekan Stunting di Mura

“Ya kami akan tunduk dan patuh kepada hal itu asalkan pihak perusahaan juga jangan ada aktivitas di atas lahan tersebut,” katanya.

Sebelumnya, sudah ada kesepakatan bahwa perusahaan akan merealisasikan dalam bentuk lahan plasma. Jika tidak direalisasikan maka perusahaan akan diputus oleh Pemda. “Sebenarnya permasalahan ini harusnya sudah selesai sejak lama, namun saat itu kuasa hukum dari PT SCC menilai yang bertandatangan atas hak tanah itu yaitu Ketua RT dianggapnya tidak berwenang. Sehingga kami sudah melakukan verifikasi lagi atas lahan itu yang ditandatangani kepala desa hingga kelurahan dan kecamatan,” ujarnya.

Sebenarnya, kata Dewel, perusahaan sudah mengakui kepemilikan lahan masyarakat, dibuktikan bahwa sejak tahun 2015 sampai 2022 perusahaan masih membayarkan kompensasi 1 ha tanah sebesar Rp50 ribu setiap bulannya. Namun sejak 1 Januari 2023 hingga 2024 ini hampir 20 bulan belum dibayarkan. “PT SCC tidak memperhatikan perjanjian sebelumnya, mereka ini berpikir seakan-akan karena sudah membayarkan kompensasi maka sudah berakhir. Padahal perjanjian berikutnya setelah membayar kompensasi, dilanjutkan dengan perusahaan memberikan lahan plasma untuk dikelola koperasi,” bebernya.

Baca Juga :  Betang Expo Diharapkan Mampu Membantu dan Mendukung UMKM

Ada 58 dokumen kepemilikan lahan yang sudah diketahui oleh RT hingga kepala desa dan camat dan juga ditandatangani Direktur PT SCC saat itu.

Sementara itu mewakili Pemkab Kotim Oktav Pahlevi menegaskan, persoalan antara Koperasi Itah Epat Hapakat dengan PT SCC di Kecamatan Cempaga Hulu sudah selesai dimediasi di pemerintah daerah, bahkan mediasi sudah ditutup.

“Sebelumnya pemerintah telah memfasilitasi dan mediasi untuk persoalan ini, dan kami sudah melakukan verifikasi terhadap dokumen yang dimiliki kedua belah pihak sejak tahun 2020,” ujarnya.

Menurutnya, Pemkab Kotim sudah memanggil kedua belah pihak untuk melakukan mediasi dan pada  20 Maret 2020. Pemerintah juga melakukan cek lapangan dilanjutkan dengan verifikasi. Dan belum lama ini ada rapat pada 26 Februari 2024 di ruang Setda Kotim yang menghasilkan suatu keputusan. “Hasil rapat tersebut, pertama pemerintah daerah telah melakukan verifikasi atas hak kedua belah pihak tanggal 16 Februari 2024 dan tertuang dalam berita acara tanggal 24 Februari 2024,” jelasnya.

Baca Juga :  Pemkab Gumas Optimis Wujudkan Kabupaten Layak Anak

Kedua, PT SCC belum bersedia menerima tuntuntan pengajuan dari koperasi hapakat untuk melaukan kerja sama pembangunan lahan plasma kemitraan, bagi hasil produk kebun di atas objek klaim lahan yang arealnya ada di dalam HGU PT SCC, ganti rugi lahan serta tuntutan lainnya.
Ketiga, Pemda Kotim sudah beberapa kali melakukan upaya mediasi antara kedua belah pihak tetapi tidak mendapatkan  kesepakatan atas penyelesaian masalah tersebut.

”Berkaitan permasalahan tersebut kami kembalikan kepada masing-masing pihak dan mediasi di pemda telah ditutup,” ungkapnya.

Terakhir, permasalahan yang timbul atas hasil rapat itu menjadi tanggung jawab masing-masing yang bersangkutan. Pemda menyarankan permasalahan ini harus diselesaikan melalui litigasi yaitu proses peradilan. Siapa yang terlebih dahulu melaporkan ini ke pengadilan menjadi tanggung jawab masing-masing pihak.

“Perlu diketahui mediasi di pemda bersifat musyawarah mufakat, yang artinya mencari kebaikan untuk keduanya. Karena keduanya tidak mau bermufakat dan tetap bersikeras masing-masing, maka pemda menyatakan mediasi di pemda sudah selesai,” pungkasnya.

Penulis : Emi
Editor : Ardi

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA