JAKARTA, inikalteng.com – Anggota DPD RI Agustin Teras Narang mengingatkan pejabat pemerintah dan wakil rakyat agar tidak mengabaikan perjalanan proses pembahasan Rancangan Undang Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). RUU MHA ini mendesak untuk segera disahkan.
Hal ini ditegaskan Teras saat menjadi narasumber webinar bertajuk Masyarakat Hukum Adat, yang diinisiatif oleh Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puskod) Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Jumat (12/8/2022).
Webinar ini menghadirkan pula narasumber Dr Kunthi Tridewiyanti, pengajar MHA di Universitas Pancasila, dan Dr Marko Mahin sebagai Antropolog dari Kalteng.
“Jangan sampai masyarakat menganggap para pejabat pemerintahan dan wakil rakyat melanggar konstitusi dengan tidak menindaklanjuti amanat konstitusi soal masyarakat adat. Sehingga kita dorong agar pengesahannya dapat dilakukan segera,” sebut Teras.
Namun, lanjutnya, tentu saja dengan tetap memperhatikan aspek kebhinekaan, memberi ruang terhadap keberagaman situasi masyarakat adat yang memiliki perbedaan di setiap wilayah. Agar pengaturan yang dibuat tidak terlalu detail dan malah mematikan keragaman masyarakat adat di masing-masing daerah.
Teras menuturkan, keberadaan MHA ini jelas kehadirannya. Bukanlah kehendak seseorang atau sekelompok orang, melainkan amanat konstitusi UUD NRI 1945. Dalam pasal 18 b ayat 2 menyebutkan, bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
“Reformasi telah mendorong perubahan terhadap UUD NRI 1945, dan pada amandemen kedua tahun 2000 lalu, MHA mendapatkan perhatian, berupa amanat pengakuan, perlindungan, hingga pemberdayaan,” jelas Gubernur Kalteng periode 2005-2015 itu.
Teras mendorong perlu mengupayakan percepatan agar RUU MHA segera disahkan. Karena ini bukan lagi semata-mata keinginan tapi juga kebutuhan bagi masyarakat. Jangan lupa bahwa masyarakat adat sudah ada jauh sebelum republik ini berdiri, sehingga perlu diakui dan dihormati keberadaannya.
“Bahkan oleh Bung Karno sendiri diakui bahwa Pancasila itu digali dari budaya bangsa kita sendiri. Budaya yang pastinya hidup dan masih bertahan justru di tengah masyarakat adat yang ada di tanah air yang kita cintai bersama ini”, bebernya.
Sebelumnya, dalam perspektif Dr Marko Mahin menjabarkan bagaimana kondisi MHA di Indonesia yang membutuhkan perhatian dan mendesak untuk diakui, dilindungi, serta diberdayakan sebagai warga negara Indonesia. MHA banyak yang bergantung hidupnya dari hutan, tanah, hingga perairan. Hal ini termasuk terjadi di Kalteng yang MHA-nya masih berjuang untuk mendapatkan kembali hak mereka, khususnya atas perlindungan kebudayaan serta tanah yang sudah ditinggali sebagai warisan leluhur mereka.
Sementara itu, Dr Kunthi dalam paparannya memberi perspektif terkait masih adanya konflik vertikal dan horizontal, potensi konflik di daerah perbatasan, serta masih banyaknya hak-hak tradisional yang belum dilegitimasi dan dilegalisasi. Semua ini berkaitan dengan kepentingan MHA mempertahankan wilayahnya.
Selain itu, bagaimana MHA memiliki beragam sebutan yang diakui di berbagai undang-undang sektoral. Beberapa istilah yang merujuk pada MHA ini, misalnya sebutan masyarakat adat dan masyarakat tradisional. (tim/red4)
Komentar