Regulasi Kepemilikan Lahan Masih Tidak Sinkron
PALANGKA RAYA – Dialog antar petani pekebun dan beberapa mantan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng dengan Ketua Komite 1 DPD RI Agustin Teras Narang, akhir pekan kemarin, menguak sejumlah permasalahan yang terjadi di daerah ini.
Hal yang paling menonjol adalah rentannya pencaplokan/penguasaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan masyarakat dengan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Dua permasalahan tersebut jika tidak ada solusinya, rentan menimbulkan terjadinya konflik sosial.
Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Teras Narang mengatakan, apapun permasalahan yang terjadi di daerah ini, tentu kita harus berani mencari penyelesaiannya.
“Agar itu bukan hanya sekedar kasus, wajib bagi kita untuk mencari bagaimana agar masalah itu bisa selesai. Permasalahan itu bisa selesai, jika ada komunikasi antara pengusaha dengan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah, bagaimana caranya agar konflik pertanahan ini bisa segera diselesaikan,” kata Teras Narang yang diwawancarai sejumlah wartawan usai pertemuan di Aula Disbun Kalteng di Palangka Raya tersebut.
Di sini juga, menurut mantan Gubernur Kalteng dua periode ini, menyangkut masalah kawasan, tata ruang, sertifikasi hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak pengelolaan dan lainnya.
Untuk itu, dirinya perlu data terlebih dahulu. Nanti berdasarkan data itu, akan dicari solusi bagaimana menyelesaikan persoalannya. Sehingga bisa terhindari dari konflik-konflik yang terkait dengan masalah tersebut.
“Kalau misalnya terjadi permasalahan dengan Dayak Misik, kita undang Dayak Misik. Kita dengar apa yang menjadi keinginan mereka, dengan harapan kita bisa menjadi jembatan penyelesaian masalah di antara mereka. Sehingga sesuai harapan kita, terjadi suasana yang kondusif,” jelasnya.
Sementara itu, Kadis Perkebunan Kalteng Rawing Rambang mengatakan, dalam regulasi kepemilikan lahan, perlu ada harmonisasi dan sinkronisasi. Karena selama ini antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang, berbeda-beda kebijakannya.
“Misalnya tentang plasma. Dalam Kementerian Pertanian, areal plasma berada di luar izin. Tapi Kementerian Kehutanan, arealnya harus di dalam kawasan perizinan. Ini yang harus disinkronkan,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, harus ada kejelasan mengenai tata ruang. Selama tata ruang masih ‘abu-abu’, sangat sulit menyelesaikan masalahnya. Selain itu juga, harus ada regulasi yang mengatur luasan lahan milik petani, agar petani bisa bekerja dan berusaha dengan tenang dan aman.
“Itu adalah sumber-sumber masalah yang dapat menimbulkan konflik jika terus-terusan tidak ada sinkronisasi. Karena konflik lahan itu terjadi akibat tata ruang tidak jelas dan regulasi kepemilikan lahan yang tumpang tindih,” ungkap Rawing Rambang.(red)